MATERI I
HUKUM PERUSAHAAN
1. Pengertian Hukum
Perusahaan
Secara
historis, istilah Perusahaan berasal dari Hukum Dagang yang merupakan hukum perikatan yang timbul
khusus dari lapangan perusahaan. Hukum Dagang ini merupakan hukum perdata
khusus yang dirancang atau diciptakan bagi kaum pedagang. Artinya,
permberlakuannya hanya diperuntukkan bagi kaum pedagang saja, tidak untuk
digunakan oleh orang-orang di luar pedagang.
Istilah
Perusahaan lahir sebagai wujud perkembangan yang terjadi dalam dunia usaha yang
kemudian diakomodir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Masuknya
istilah Perusahaan dalam KUHD diawali dengan ditemukannya beberapa kekurangan
atau kelemahan dalam KUHD. Namun istilah Perusahaan ini tidak dirumuskan secara
eksplisit seperti apa yang terjadi dalam istilah Pedagang dan Pebuatan
Perdagangan. Namun demikian, beberapa ahli hukum sudah memberikan beberapa
rumusan sebagai pegangan yang akan dipaparkan lebih lanjut di bawah ini.
Sebelumnya akan dijelaskan beberapa pokok pikiran yang menjadi alasan atau
latar belakang terjadinya pembaharuan dalam Hukum Dagang sehingga melahirkan
istilah Perusahaan dan pada akhirnya melahirkan istilah dan rumusan Hukum
Perusahaan.
Saat ini,
beberapa pasal dari Buku I KUHD tentang pedagang pada umumnya, sudah dianggap
tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam dunia usaha atau perdagangan.
Ketidaksesuaian itu disebabkan adanya kekurangan dan atau kelemahan yang
dikandung oleh definisi pedagang dan perbuatan perdagangan (perniagaan),
sehingga menyebabkan terbatasnya ruang lingkup usaha yang bisa dilakukan dan
menjadi bagian kajian dalam Hukum Dagang. Hal inilah yang kemudian mendorong
pembuat undang-undang mengambil keputusan mencabut ketentuan Pasal 2 s/d Pasal
5 KUHD perihal pedagang dan perbuatan perniagaan. Menurut Pasal 2 KHUD (lama),
pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan sebagai pekerjaan
sehari-hari. Perbuatan perniagaan itu selanjutnya diperjelas oleh Pasal 3 KUHD
(lama), yaitu perbuatan pembelian barang-barang untuk dijual kembali.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 KUHD (lama) tersebut, HMN. Purwosutjipto mencatat
bahwa:
a.
Perbuatan perniagaan hanya menyangkut perbuatan
pembelian saja, sedangkan perbuatan penjualan tidak termasuk didalamnya, karena
penjualan adalah tujuan pembelian; dan
b.
Pengertian barang di sini hanya berarti barang
bergerak saja, tidak termasuk di dalamnya barang tetap (tidak bergerak).
Pasal 4 KUHD
(lama) kemudian memerinci lagi beberapa kegiatan yang termasuk dalam kategori
perbuatan perniagaan, yang salah satunya adalah perbuatan jual-beli
perlengkapan kapal dan keperluan kapal. Dengan demikian, bila mengacu pada
pendapat Purwosutjipto di atas mengenai ketentuan Pasal 3 KUHD (lama),
kelihatan bertentangan dengan Pasal 4 KUHD (lama) yang menyebut jual-beli
sebagai perbuatan perniagaan.
Sedangkan
Pasal 5 KUHD (lama) hanya menambahkan kegiatan-kegiatan yang termasuk perbuatan
perniagaan khususnya perbuatan-perbuatan perniagaan di laut, seperti perbuatan
yang timbul dari kewajiban–kewajiban menjalankan kapal untuk melayari laut,
kewajiban-kewajiban mengenai tubrukan kapal, tolong-menolong dan menyimpan
barang di laut, dan lain-lain.
Dengan
demikian, ada beberapa keberatan yang dapat disimpulkan dan termuat dalam Pasal
2 s/d Pasal 5 KUHD, sekaligus keberatan terhadap prinsip hukum dagang bagi
pedagang, yaitu:
a. Perkataan
“barang” dalam Pasal 3 KUHD (lama) hanya diartikan barang-barang bergerak saja.
Padahal dalam lalu lintas perniagaan sekarang, barang-barang tidak bergerak
juga merupakan obyek perniagaan.
b. Perbuatan
“menjual” dalam Pasal 3 KUHD (lama), tidak termasuk dalam pengertian perbuatan
perniagaan, hal ini bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 4 KUHD (lama),
yang menyebutkan perbuatan menjual adalah termasuk dalam pengertian perbuatan
perniagaan. Jadi, ada pertentangan antara Pasal 3 dan Pasal 4 KUHD (lama).
c. Bila terjadi
perselisihan antara pedagang dengan non-pedagang, muncul beberapa pendapat
mengenai pemberlakuan hukum dagang:
1)
Menurut H.R, hukum dagang baru berlaku bila bagi
tergugat perbuatan yang dipertentangkan adalah perbuatan perniagaan. Ini
artinya bila tergugat adalah pedagang, dan penggugat bukan pedagang, maka
disini akan berlaku hukum dagang. Akhirnya hukum dagang juga diberlakukan bagi
non-pedang. Pendapat H.R ini telah melanggar prinsip hukum dagang bagi pedagang.
(pendapat ini bertitik tolak pada subjek hukum di pihak tergugat)
2)
Pendapat kedua, menyatakan bahwa hukum dagang berlaku
kalau perbuatan yang disengketakan itu bagi kedua belah pihak merupakan
perbuatan perniagaan. (pendapat ini bertitik tolak pada obyek sengketa)
Dari
pendapat di atas terlihat jelas bahwa prinsip hukum dagang bagi pedagang tidak
bisa dipertahankan lagi dalam situasi saat ini. Karena pedagang memiliki
peluang melakukan sengketa dengan siapapun termasuk yang bukan pedagang. Oleh
karena itu, terhitung sejak tanggal 17 Juli 1938, dimulailah babak baru
pemberlakuan Hukum Dagang (KUHD) tidak semata-mata bagi kalangan pedagang
tetapi juga mereka yang berprofesi bukan pedagang. Selanjutnya istilah pedagang
dan perbuatan perdagangan (perniagaan) dihapuskan dan diganti dengan istilah
“Perusahaan”.
Sebagai
wujud keberadaan dan penerimaan istilah Perusahaan dalam KUHD, bisa
diperhatikan rumusan pasal-pasal antara lain sebagai berikut:
a.
Pasal 6 ayat (1): “Setiap orang yang menyelenggarakan
perusahaan diwajibkan untuk membuat catatan-catatan menurut syarat-syarat
perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang apa saja yang berhubungan
dengan perusahaannya, dengan cara yang demikian sehingga dari catatan-catatan
yang diselenggarakan itu sewaktu-waktu dapat diketahui segala hak dan
kewajibannya”.
b.
Pasal 16 KUHD : “Firma adalah suatu perusahaan yang
didirikan untuk menjalankan suatu usaha dengan nama bersama”.
c.
Pasal 36 ayat (1) KUHD : “Perseroan Terbatas tidaak
mempunyai Firma, dan tidak memakai nama salah seorang atau lebih dari para
persero, melainkan mendapat namanya hanya dari tujuan perusahaan saja”.
Istilah
“Perusahaan” adalah istilah yang lahir sebagai akibat adanya pembaharuan dalam
Hukum Dagang. Oleh karena itulah, sejak beberapa pasal dalam Buku I KUHD
dicabut, maka sejak saat itu pula istilah dan pengertian pedagang dan perbuatan
perdagangan (perniagaan) tidak layak lagi mewakili kepentingan kaum pedagang
khususnya dan masyarakat pada umumnya yang kemungkinan memiliki hubungan,
kepentingan dan atau ikut ambil bagian dalam aktivitas perusahaan.
Salah satu
bagian penting perkembangan dalam Hukum Dagang adalah munculnya istilah baru
yang berusaha mengambil alih peranan Hukum Dagang, yaitu istilah Hukum
Perusahaan. Istilah Hukum Perusahaan ini jelas merupakan rangkaian tak terputus
dengan istilah Perusahaan. Bahkan saat ini Hukum Perusahaan sudah dijadikan
materi kuliah wajib dibeberapa perguruan tinggi yang terkesan berdiri sendiri
berdampingan dan atau menggantikan Hukum Dagang. Walaupun secara subtansi
keduanya hampir tidak ada perbedaan (karena Hukum Perusahaan merupakan bagian
khusus dari Hukum Dagang), tetapi secara umum bidang hukum baru ini lebih
diminati dan mudah pahami bila dibandingkan dengan Hukum Dagang. Hukum Dagang
lebih banyak dikenal oleh mahasiswa-mahasiswa fakultas hukum, sedangkan Hukum
Perusahaan (Organisasi Perusahaan) merupakan materi kuliah yang selalu
disajikan pada fakultas-fakultas ekonomi sehingga wajar bila Hukum Perusahaan
lebih banyak dikenal oleh mahasiswa-mahasiswa fakultas ekonomi.
Hingga saat
ini istilah Hukum Perusahaan masih belum bisa menjadi istilah yang berdiri
sendiri karena ia termasuk istilah yang lahir dari lapangan Hukum Perdata
(Hukum Dagang). Dalam KUHD, istilah dan pengertian Hukum Perusahaan juga tidak
dijumpai karena ia senasib dengan istilah Perusahaan. Pembentuk undang-undang
tampaknya mulai sadar bahwa dengan membuat rumusan pengertian Perusahaan
(termasuk didalamnya Hukum Perusahaan) berarti mengulangi kesalahan yang sama
seperti yang terjadi pada rumusan pengertian pedagang dan perbuatan
perdagangan. Pembuat undang-undang berkeinginan agar istilah Perusahaan dan
Hukum Perusahaan berkembang dengan sendirinya mengikuti perkembangan yang
terjadi dalam dunia usaha atau perusahaan.
Menurut
Soekardono, Perusahaan adalah salah satu pengertian ekonomi yang juga masuk ke
dalam lapangan Hukum Perdata, khususnya Hukum Dagang. Melalui Staatblad
1938/276, istilah Perusahaan masuk ke dalam Hukum Dagang dengan menggantikan
istilah pedagang dan perbuatan perdagangan.
Istilah
Perusahaan di dalam bahasa Indonesia mempunyai 3 (tiga) pengertian yang
diadopsi dari istilah Belanda, yaitu:
a.
Onderneming.
Dalam
istilah onderneming tercermin seakan-akan adanya suatu kesatuan kerja
(wekeenheid), namun ini terjadi dalam suatu perusahaan.
b.
Bedrijf
Bedrijf
diterjemahkan dengan “perusahaan”, yang mana dalam hal ini tercermin adanya
penonjolan pengertian yang bersifat ekonomis yang bertujuan mendapatkan laba,
dalam bentuk suatu usaha yang menyelenggarakan suatu perusahaan. Dengan kata
lain, bedrijf ini merupakan kesatuan teknik untuk produksi, seperti misalnya
Huisvlijt (home industri/industri rumah tangga), Nijverheid
(kerajinan/keterampilan khusus), Fabriek (pabrik).
c.
Vennootschap
Vennootschap
mengandung pengertian juridis karena adanya suatu bentuk usaha yang ditimbulkan
dengan suatu perjanjian untuk kerja sama dari beberapa orang sekutu atau
pesero.
Dengan
demikian dapat disimpulkan perbedaan pengertian bedrijf (perusahaan) dan
onderneming yaitu jika bedrijf mengandung pengertian kesatuan
finansial-ekonomis, maka onderneming merupakan suatu kesatuan kerja
(werkeenheid) yang semata-mata mengandung pengertian ekonomis saja, dan
kedua-duanya mengandung pengertian yang bersifat non juridis. Sedangkan
vennootschap mengandung pengertian yang bersifat juridis.
Beberapa
ahli atau ilmuan memberikan pendapat tentang istilah Perusahaan, sebagai
berikut:
a.
Pemerintah Belanda (Mentri Kehakiman Belanda) ketika
membacakan Memorie van Toelichting (rencana undang-undang) Wetboek van
Koophandel (WvK) di depan parlemen, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara tidak
terputus-putus, dengan terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk
mencari laba.
b.
Molengraaff (dalam bukunya Leindraad I halaman 38)
berpendapat bahwa perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara
terus menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara
memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau mengadakan
perjanjian-perjanjian perdagangan. Di sini Molengraaff memandang perusahaan
dari sudut ekonomi.
c.
Polak (dalam bukunya Handboek I halaman 88) memberikan
pendapat bahwa sebuah perusahaan dianggap ada bila diperlukan adanya
perhitungan-perhitungan tentang laba-rugi yang dapat diperkirakan, dan segala
sesuatu itu dicatat dalam pembukuan. Di sini Polak memandang perusahaan dari
sudut komersil.
Dalam
beberapa undang-undang juga ditemukan uraian mengenai definisi perusahaan,
antara lain:
a.
Pasal 1 huruf b UU No.3 Tahun 1992, tentang Wajib
Daftar Perusahaan, mendefiniskan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang
bersifat tetap dan terus menerus dan didirikan, bekerja serta berkedudukan
dalam wilayah Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan atau laba.
b.
Pasal 1 butir 2 UU No.8 Tahun 1997, tentang Dokumen
Perusahaan, menyebutkan bahwa perusahaan adalah bentuk usaha yang melakukan
kegiatan secara tetap dan terus menerus dangan tujuan memperoleh keuntungan dan
atau laba, baik yang diselenggarakan oleh perseorangan maupun badan usaha, baik
berbentuk badan hukum ataupun bukan badan hukum, yang didirikan dan
berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Kalau
meneliti Bab I (Pasal 2 s/d Pasal 5 yang sudah dihapuskan) KUHD, maka istilah
perbuatan dagang meliputi perbuatan membeli dan menjual barang-barang saja.
Berdasarkan definisi ini, bisa dipahami bahwa istilah Perusahaan lebih luas
artinya daripada istilah perbuatan dagang. Maka segala sesuatu yang dapat
menghasilkan keuntungan secara materil dapat dimaksudkan dengan Perusahaan.
Besar kecilnya, ataupun bentuk perusahaan tidak menjadi soal.
Dalam pada
itu, Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) telah memberi definisi dalam arrestnya
25 Nopember 1925, bahwasanya “dianggap ada suatu perusahaan kalau seseorang
menyelenggarakan sesuatu secara teratur (sifatnya terus-menerus; ada pembukuan,
penulis), yang ada hubungannya dengan menjalankan perdagangan untuk mendapatkan
keuntungan berupa uang”.
Berbicara
mengenai pengertian Hukum Perusahaan, maka hal ini juga tidak bisa dipisahkan dengan
pengertian Hukum Dagang. Sudah diketahui bahwa Hukum Dagang adalah hukum
perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. Bila merujuk pada
pendapat salah satu ahli tentang istilah Perusahaan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Hukum Perusahaan adalah seperangkat aturan hukum yang
mengatur perbuatan-perbuatan dalam lapangan perusahaan, yang dilakukan secara
tidak terputus-putus, bertindak keluar, terang-terangan, dalam kedudukan
tertentu dan untuk mencari laba atau penghasilan, dengan cara memperniagakan
barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian
perdagangan dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan.
Berkembangnya
dunia usaha dan atau perdagangan membawa akibat berkembangnya pengertian
perusahaan, baik menyangkut bentuk, bidang kegiatan/usaha dan sebagainya. Dalam
perkembangan ini muncullah apa yang disebut Hukum Perusahaan atau Corporate
Law.
Di lihat
dari obyek pengaturannya, maka Hukum Perusahaan ini diatur di dalam:
a.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
b.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD); dan
c.
Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Dengan
demikian, Hukum Perusahaan dapat dikatakan merupakan pengkhususan dari beberapa
bab di dalam KUHPerdata dan KUHD, ditambah dengan peraturan perundang-undangan
lainnya yang mengatur tentang Perusahaan.
Apabila
Hukum Dagang merupakan hukum khusus (lex specialis) dari Hukum Perdata (yang
bersifat lex generalis), maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hukum
Perusahaan merupakan pengkhususan lebih lanjut dari Hukum Dagang. Dari sudut
pandang ini (kedudukan), Hukum Perusahaan diartikan sebagai hukum yang secara
khusus mengatur tentang bentuk-bentuk badan usaha (perusahaan) serta segala
aktivitas yang berkaitan dengan perusahaan.
Mengacu pada
Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan (Pasal 1 huruf b UU No.3 Tahun 1992,
tentang Wajib Daftar Perusahaan), maka perusahaan dapat didefinisikan sebagai
“setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap,
terus-menerus, dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara
Indonesia dengan tujuan meperoleh keuntungan dan atau laba”. Bertitik tolak
dari definisi tersebut, maka lingkup pembahasan Hukum Perusahaan meliputi dua
hal pokok, yaitu bentuk usaha dan jenis usaha. Dengan demikian, Hukum
Perusahaan adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur tentang bentuk usaha
dan jenis usaha.
Dari
beberapa definisi perusahaan yang dikemukakan di atas, sesuatu disebut
perusahaan apabila memenuhi unsur-unsur di bawah ini:
a.
Ia merupakan bentuk usaha
b.
Bentuk usaha itu diselenggarakan oleh perseorangan
maupun badan usaha, baik berbentuk badan hukum ataupun bukan badan hukum;
c.
Melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus;
d.
Bertindak keluar dengan cara memperniagakan
barang-barang atau mengadakan
e.
perjanjian-perjanjian;
f.
Membuat perhitungan tentang laba-rugi yang dicatat
dalam pembukuan
g.
Bertujuan memperoleh keuntungan atau laba
Dengan
demikian, ketika bicara perusahaan sudah dipastikan hal itu berhubungan dengan
bentuk-bentuk usaha dan segala hal yang berkaitan dengan bentuk usaha (hukum
perusahaan) yang kesemuanya berujung pada laba sebagai unsur mutlak. Unsur laba
ini juga menjadi tujuan bagi perbuatan perniagaan. Namun demikian, perbuatan
perusahaan lebih luas dari perbuatan perniagaan, sebab ada beberapa perbuatan
yang termasuk dalam pengertian perusahaan tetapi tidak termasuk dalam
pengertian perbuatan perniagaan, seperti dokter, pengacara, notaris, juru sita,
akuntan, dan lain-lain.
2. Sejarah
Hukum Perusahaan
Mempelajari
sejarah Hukum Perusahaan di Indonesia tidak lepas kaitannya dengan sejarah
Hukum Dagang yang pada dasarnya memiliki hubungan erat dengan sejarah hukum
dagang Belanda. Sejarah hukum dagang Belanda tentu ada kaitannya dengan sejarah
hukum dagang Perancis. Sedangkan hukum dagang Perancis tidak bisa dipisahkan
dari hukum Romawi yang dikenal dengan Corpus Iuris Civilis. Corpus Iuris
Civilis peninggalan Romawi tersebut terdiri dari 4 buku:
a.
Institusionil (lembaga). Buku I ini memuat tentang
lembaga-lembaga yang ada pada masa kekaisaran Romawi, termasuk didalamnya
Consules Mercatorum (pengadilan untuk kaum pedagang).
b.
Pandecta. Buku II ini memuat asas-asas dan adagium
hukum, seperti “ asas facta sun servanda (berjanji harus ditepati); asas partai
otonom (kebebasan berkontrak); unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah
saksi), dan lain-lain.
c.
Codex. Memuat uraian pasal demi pasal yang tidak
memisahkan antara hukum perdata dan hukum dagang.
d.
Novelete. Berisi karangan atau cerita.
Perkembangan
pesat Hukum Dagang sebenarnya telah dimulai sejak abad pertengahan di Eropah,
kira-kira dari tahun 1000 sampai tahun 1500. Asal mula perkembangan hukum ini
dapat dihubungkan dengan tumbuh dan berkembangnya kota-kota dagang di Eropah
Barat. Pada zaman itu di Italia dan Perancis Selatan telah lahir kota-kota sebagai
pusat perdagangan, seperti Genoa, Florence, Vennetia, Marseille, Bercelona, dan
lain-lain. Hukum Romawi (Corpus Iuris Civilis) ternyata tidak dapat
menyelesaikan seluruh perkara-perkara yang timbul di bidang perdagangan. Oleh
karena itulah di kota-kota Eropah Barat disusun peraturan-peraturan hukum baru
yang berdiri sendiri disamping Hukum Romawi yang berlaku.
Hukum yang
baru dan berdiri sendiri ini berlaku hanya bagi pedagang dan hubungan-hubungan
perdagangan, sehingga lebih populer ia disebut “Hukum Pedagang”
(Koopmansrecht). Kemudian, pada abad ke-16 dan ke-17 sebagian besar kota di
Perancis mulai menyelenggarakan pengadilan-pengadilan istimewa khusus
menyelesaikan perkara-perkara di bidang perdagangan (pengadilan pedagang).
Hukum
pedagang ini awalnya belum merupakan unifikasi (berlakunya satu sistem hukum
untuk seluruh daerah), karena berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap
daerah mempunyai hukum pedagang sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lainnya.
Kemudian, disebabkan pesatnya perkembangan dalam dunia perdagangan dan eratnya
hubungan antar daerah, ditambah dengan banyaknya konflik-konflik dagang yang
menemui jalan buntu di masa itu, telah mendorong keinginan untuk membentuk satu
kesatuan hukum (unifikasi) di bidang perdagangan yang berlaku untuk seluruh
daerah.
a.
Perancis
Pada abad 17
di Perancis, masa pemerintahan Raja Louis XIV (1643-1715). Raja Louis XIV ini
memiliki seorang Perdana Mentri bernama Colber, dan Colber ini dikenal memiliki
minat yang sangat tinggi dengan perkembangan hukum. Oleh karena itu ia
memerintahkan untuk membuat ordonansi yang mengatur tentang perdagangan.
Kodifikasi
hukum dagang pertama dibuat pada tahun 1673, yang dikenal dengan nama Ordonance
de Commerce. Ordonansi ini isinya tentang pedagang, bank dan pedagang perantara
(makelar), catatan-catatan dagang, badan usaha, perbuatan dagang, surat
berharga (seperti wesel), paksaan badan terhadap pedagang (gijzeling),
pemisahan barang-barang antara suami-istri dimana salah satunya menjadi
pedagang melalui huwelijk overeenskomst, pernyataan pailit dan peradilan dalam
perkara-perkara dagang, dan sebagainya.
Kemudian
pada tahun 1681, lahirlah kodifikasi hukum dagang kedua yang dikenal dengan
nama Ordonance de la Marine. Dalam ordonansi ini dimuat segala
peraturan-peraturan mengenai kapal dan perlengkapan kapal, nahkoda dan anak
buah kapal, perjanjian perdagangan di laut, polisi pelabuhan dan perikanan
laut. Pada umumnya ordonansi ini mencakup semua hal berkaitan dengan kodifikasi
hukum laut atau hukum perdagangan laut (untuk pedagang-pedagang kota pelabuhan.
Kedua kitab
hukum tersebut dijadikan sumber bagi pengkodifikasian hukum dagang baru yang
mulai dikerjakan pada permulaan abad ke-19. Kodifikasi hukum dagang baru
tersebut bernama Code de Commerce yang mulai berlaku pada tahun 1807. Beberapa
tahun sebelum kodifikasi hukum dagang berlaku, sebenarnya juga sudah disahkan
kodifikasi hukum perdata yaitu Code Civil (1804). Dengan demikian, pada tahun
1807 di Perancis terdapat Hukum Dagang yang dikodifikasikan dalam Code de Commerce
yang dipisahkan dari Hukum Perdata (Sipil) yang dikodifikasikan dalam Code
Civil. Code de Commerce ini memuat peraturan-peraturan hukum yang timbul dalam
bidang perdagangan sejak zaman pertengahan.
Di Romawi,
ditemukan adanya sebuah pengadilan khusus bagi para pedagang yang dinamakan
Consules Mercatorum, yang kemudian oleh hukum dagang Perancis diambil alih
dengan nama Judge et Consuls. Hakim-hakim Consules Mercatorum diambil dari para
pedagang itu sendiri. Badan peradilan ini berdiri sendiri, terpisah dari badan
peradilan umum lainnya. Lembaga penyelesaian sengketa dagang ini mirip dengan
“Arbitration” (pertamakali diperkenalkan di Amerika) yang memang lebih popular
diberlakukan saat ini dalam hubungan-hubungan dagang atau bisnis yang berskala
internasional.
Sebenarnya,
masuknya pengaruh hukum Romawi dalam hukum dagang Perancis ini disebut dengan
gejala Resepsi hukum Romawi. Pemisahan hukum perdata dan hukum dagang di
Perancis adalah masuk akal disebabkan adanya perbedaan strata sosial dan
golongan-golongan masyarakat yang berbeda, yang tidak persis sama dengan
keadaan di Belanda.
b.
Belanda
Belanda
sebagai negara bekas jajahan Perancis, kondisinya agak berbeda, dimana telah
terjadi pluralisme (keanekaragaman) hukum di bidang hukum perdata. Ada hukum
Romawi, hukum Perancis, hukum Belgia, hukum German, dan peraturan-peraturan
Raja atau Gubernur. Dapat dibayangkan bahwa pluralisme hukum tersebut telah
menyebabkan tidak adanya kepastian hukum.
Setahun
setelah Belanda merdeka dari Perancis (tahun 1813), memperhatikan keadaan
pluralisme hukum tersebut dan dampaknya, serta atas amanat UUD Belanda untuk
mengkodifikasi hukum privat (hukum perdata dan hukum dagang), maka Raja
Lodewijk Napoleon memerintahkan pembentukan sebuah Komisi Pembuat
Undang-undang. Komisi ini diketuai oleh ahli hukum (seorang guru besar) Belanda
yang bernama Van Kemper. Komisi ini terbentuk pada tahun 1814. Dua tahun
berikutnya (1816) berhasil disiapkan sebuah RUU yang dinamakan “Ont Werp
Kemper” (naskah rancangan Kemper) yang terdiri dari 4000 pasal, yang bertujuan
untuk menghapuskan pengaruh hukum Perancis. Tetapi RUU ini harus dilimpahkan
lebih dahulu ke Paerlemen Belanda. Hasilnya, Parlemen Belanda menolak RUU ini
untuk disahkan menjadi UU karena terlalu berbau Belanda. Penolakan ini dilakukan
atas prakarsa seorang hakim tinggi Belanda keturunan Belgia bernama Nikolai,
yang tidak senang dengan RUU tersebut. Karena ditolak, Raja kemudian
mengembalikan RUU tersebut kepada Komisi. Selanjutnya Kemper berusaha
menyelesaikan revisi RUU tersebut selama 4 tahun yang dinamakan dengan “Ont
Werp Kemper II” (1820). Namun demikian, RUU revisi itu ditolak untuk kedua
kalinya oleh Paerlemen Belanda, sehingga tugas komisi tersebut dinyatakan
gagal. Kemper kemudian frustasi dan tidak mau lagi menjadi Ketua Komisi, Ia
kemudian meninggal dunia pada tahun 1824.
Dalam usul
KUHD Belanda 1820 (Ont Werp Kemper II) telah direncanakan sebuah KUHD yang
terdiri atas 3 kitab, akan tetapi didalamnya tidak mengakui lagi pengadilan
istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara yang timbul di bidang perdagangan,
dan perkara-perkara dagang itu untuk selanjutnya diselesaikan di muka
pengadilan biasa. Walaupun Ont Werp Kemper II ditolak, namun usul penghapusan
pengadilan khusus bagi pedagang tetap menjadi muatan penting yang ditindaklanjuti
oleh pengganti Kemper.
Pengganti
Kemper sebagai Ketua Komisi Perancang Hukum Dagang adalah Nikolai. Dalam
pekerjaannya, Komisi dibawah pimpinan Nikolai ternyata tidak mampu mewujudkan
gagasannya dalam menciptakan Hukum Dagang baru. Akhirnya setelah melalui sebuah
rapat Komisi, diputuskanlah untuk mengadakan studi banding ke Perancis. Komisi
memutuskan untuk mengambil alih Code Civil dan Code du Commerce Perancis untuk
dialihbahasakan menjadi BW dan WvK (1838).
Pada akhir
abad 19, Molengraaff merencanakan suatu UU Kepailitan yang akan menggantikan
Buku III KUHD Belanda. Rencana Molengraaff ini berhasil diwujudkan menjadi UU
Kepailitan tahun 1893 (mulai berlaku tahun 1896). Berdasarkan asas konkordansi,
perobahan ini juga dilakukan di Indonesia pada tahun 1906 yang dikenal dengan
Failissement Verordenig Stb. 1905/217 jo Stb. 1906/348Stb.
Dari
beberapa hal diatas, sarjana Van Kant beranggapan bahwa hukum dagang itu
merupakan hukum tambahan daripada hukum perdata, yaitu suatu tambahan yang
mengatur hal-hal yang khusus.
Akibat
adanya hukum dagang khusus bagi pedagang (hukum pedagangatau koopmanrecht).
Konsekuensinya, hanya para pedagang saja yang bisa melakukan kegiatan dagang
seperti mendirikan CV, Fa, NV. Bagi non pedagang, hanya dibolehkan mendirikan
badan usaha lain seperti maatschap yang diatur dalam KUHPerdata.
Melihat
keadaan tersebut di atas, Molengraff dan Van Apeldooren tidak setuju adanya
diskriminasi hukum yang membedakan antara pedagang dan non pedagang. Atas
anjuran dua sarjana itu (khususnya Molengraff) menyebabkan dicabutnya Pasal 2
s/d Pasal 5 KUHD dengan stb. 1938/276 tanggal 17 Juli 1938. Sedangkan di negeri
Belanda pencabutan pasal-pasal tersebut sudah lebih dahulu dilakukan pada
tanggal 2 Juli 1934 melalui stb. 1934/347.
c.
Indonesia (Hindia Belanda)
Ketika
keinginan untuk memberlakukan hukum Belanda di Hindia Belanda (Indonesia),
muncullah dua perbedaan pendapat:
a.
Pendapat I: Menginginkan agar seluruh hukum Belanda
diberlakukan di Hindia Belanda agar penjajahan Belanda di Hindia Belanda bisa
langgeng.
b.
Pendapat II: Tidak setuju asas konkordansi
dilaksanakan secara utuh di Hindia Belanda, sebab di masyarakat Indonesia sudah
ada hukum yang hidup dan mengatur perikehidupan masyarakatnya yang lebih
dikenal dengan sebutan hukum adat (adatrecht). Disamping itu, kenyataannya
banyak sekali hukum Belanda (Eropah) yang bertentangan dengan hukum asli orang
Indonesia (hukum adat). Namun demikian, tidak ada larangan bagi orang Indonesia
untuk menundukkan diri secara sukarela pada hukum Eropah. Untuk mengakomodasi
hal ini dibentuklah Lembaga Tunduk Sukarela.
Akhirnya,
berdasarkan asas konkordansi kedua kodifikasi itu juga diberlakukan di
Indonesia (dahulu Hindia Belanda) dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). KUHD sendiri
dipublikasikan pada tanggal 30 April 1847 dalam Stb.1847/23, yang mulai berlaku
pada tanggal 1 Mei 1848.
3. Sumber
Hukum Perusahaan
Sumber Hukum
Perusahaan adalah setiap pihak yang menciptakan kaidah atau ketentuan Hukum
Perusahaan. Pihak-pihak tersebut dapat berupa badan legislatif yang menciptakan
undang-undang, pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yang menciptakan kontrak,
hakim yang memutus perkara yang menciptakan yurisprudensi, masyarakat pengusaha
yang menciptakan kebiasaan mengenai perusahaan. Dengan demikian, Hukum
Perusahaan itu terdiri dari kaidah atau ketentuan yang tersebar dalam
perundang-undangan, kontrak, yurisprudensi, dan kebiasaan mengenai perusahaan.
a.
Perundang-undangan
Perundang-undangan
ini meliputi ketentuan undang-undang peninggalan zaman Hindia Belanda dahulu,
yang masih berlaku hingga sekarang berdasarkan aturan peralihan UUD 1945,
seperti ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata dan KUHD. Selain itu, sudah
banyak undang-undang yang diciptakan oleh Pembuat Undang-undang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 mengenai perusahaan yang berkembang cukup pesat hingga
saat ini.
Berlakunya
KUHPerdata terhadap semua perjanjian dapat diketahui berdasarkan ketentuan
Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian baik bernama
maupun tidak bernama tunduk pada ketentuan umum yang termuat dalam bab ini dan
bab yang lalu. Yang dimaksud dengan bab ini adalah bab kedua tentang perikatan
yang timbul karena perjanjian, sedangkan yang dimaksud dengan bab yang lalu adalah
bab kesatu tentang perikatan pada umumnya. Kedua bab tersebut terdapat dalam
Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang perikatan (verbintenis). Dengan
demikian, KUHPerdata berkedudukan sebagai hukum umum (lex generalis). Sedangkan
KUHD berkedudukan sebagai hukum khusus (lex specialis). Hal ini dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 1 KUHD yang menentukan bahwa Kitab Undang-undang Hukum
Perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam kitab undang-undang ini
(KUHD), sekedar dalam undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang.
Misalnya dalam KUHPerdata diatur tentang pemberian kuasa (lastgeving), dalam
KUHD diatur juga pemberian kuasa secara khusus mengenai surat berharga. Dalam
hal ini, ketentuan mengenai pemberian kuasa dalam KUHD yang diberlakukan.
Ada beberapa
pendapat sarjana tentang hubungan kedua hukum ini, antara lain:
1)
Van Kant: Hukum Dagang adalah suatu tambahan Hukum
Perdata yaitu suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus.
2)
Van Apeldoorn: Hukum Dagang suatu bagian istimewa dari
lapangan Hukum Perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Buku III KUHPerdata.
3)
Sukardono: Bahwa Pasal 1 KUHD memelihara kesatuan
Hukum Perdata Umum dengan Hukum Dagang, sekedar KUHD itu tidak khusus
menyimpang dari KUHPerdata.
4)
Tirtaamijaya: Hukum Dagang adalah suatu Hukum Sipil
yang istimewa.
Di negara
Swiss, pengaturan hukum perdatanya dibagi dua, yaitu Zivilgesetzbuch dan
Obligationenrecht. Yang pertama sama dengan KUHPerdata Indonesia minus hukum
perikatan. Sedangkan yang kedua, khusus mengenai hukum perikatan dan hukum
dagang. Hubungan keduanya bersifat “koordinasi” dan saling melengkapi.
Saat ini di
Belanda, sudah terjadi penyatuan BW dan WvK, dengan sebutan BW Baru Belanda
(Nieuw Nederland Burgelijk Wetboek). Dengan demikian, di Belanda sudah tidak dikenal
pembagian yang terpisah antara hukum perdata (umum) dan hukum dagang (khusus).
Adapun
sistematika BW Baru Belanda, terdiri dari:
1)
Buku I, tentang Hukum Orang dan Keluarga (Personen en
Famillierecht),
2)
Buku II, tentang Badan Hukum (Rechtspersonen),
3)
Buku III, tentang Hukum Kekayaan Pada Umumnya
(Vermogensrecht in het Algemeen),
4)
Buku IV, tentang Hukum Waris (Erfrecht),
5)
Buku V, tentang Hukum Benda (Zakelijk Rechten),
6)
Buku VI, tentang Hukum Perikatan Pada Umumnya
(Algemeen Gedeelte van het Verbintenissenrecht),
7)
Buku VII, tentang Perjanjian-perjanjian Khusus
(Bijzondere Overeenkomsten), dan
8)
Buku VIII, tentang Sarana Lalu Lintas dan Pengangkutan
(Verkeersmiddelen en Vervoer).
Selain dari ketentuan yang masih berlaku di dalam
KUHPerdata dan KUHD, juga sudah diundangkan banyak sekali undang-undang yang
dibuat oleh Pembuat Undang-Undang RI yang mengatur tentang perusahaan antara
lain mengenai;
1)
Badan usaha milik negara (BUMN);
2)
Hak milik intelektual (HAKI);
3)
Pengangkutan darat, perairan, dan udara;
4)
Perasuransian (kerugian, sejumlah uang, dan sosial);
5)
Perdagangan dalam dan luar negeri;
6)
Perkoperasian dan UMKM (usaha mikro, kecil dan
menengah);
7)
Pasar modal dan penanaman modal;
8)
Hak-hak jaminan atas tanah;
9)
Izin usaha dan pendaftaran perusahaan;
10) Perbankan
dan lembaga pembiayaan;
11) Perseroan
terbatas;
12) Dokumen
perusahaan;
b.
Kontrak Perusahaan
Pada zaman
modern ini semua perjanjian atau kontrak perusahaan selalu dibuat tertulis,
baik yang bertaraf nasional maupun internasional. Kontrak perusahaan ini
merupakan sumber utama kewajiban dan hak serta tanggung jawab pihak-pihak. Jika
terjadi perselisihan mengenai pemenuhan kewajiban dan hak, pihak-pihak juga
telah sepakat untuk menyelesaikannya secara damai. Tetapi jika tidak tercapai
kesepakatan antara kedua pihak, biasanya mereka sepakat untuk menyelesaikannya
melalui arbitrase atau pengadilan. Hal ini secara tegas dicantumkan dalam
kontrak.
Dalam
pelaksanaan kontrak perusahaan selalu melibatkan pihak ketiga, baik mengenai
cara penyerahan barang maupun cara pembayaran harga. Dalam penyerahan barang,
pihak ketiga yang dapat dilibatkan adalah perusahaan ekspedisi, pengangkutan,
pergudangan, asuransi. Sedangkan dalam pembayaran harga, pihak ketiga yang
selalu dilibatkan adalah bank. Pada perusahaan modern, semua lalu lintas
pembayaran selalu dilakukan melalui bank dengan menggunakan surat berharga yang
disertai oleh dokumen-dokumen penting lainnya.
Kontrak
perusahaan selalu terikat dengan ketentuan undang-undang berdasarkan asas
pelengkap, yaitu asas yang menyatakan bahwa kesepakatan pihak-pihak yang
tertuang dalam kontrak merupakan ketentuan yang utama yang wajib diikuti oleh
pihak-pihak. Tetapi jika dalam kontrak tidak ditentukan, maka ketentuan
undang-undang yang diberlakukan. Pada kontrak yang bertaraf nasional mungkin
tidak ada masalah mengenai ketentuan undang-undang ini. Pada kontrak yang
bertaraf internasional mungkin timbul masalah, yaitu ketentuan undang-undang
pihak mana yang diberlakukan, disini pihak-pihak berhadapan dengan masalah
pilihan hukum (choice of law).
c.
Yurisprudensi
Yurisprudensi
merupakan sumber hukum perusahaan yang dapat diikuti oleh pihak-pihak terutama
jika terjadi sengketa mengenai pemenuhan kewajiban dan hak tertentu. Dalam
yurisprudensi, kewajiban dan hak yang telah ditetapkan oleh hakim dipandang
sebagai dasar yang adil untuk menyelesaikan sengketa kewajiban dan hak antara
pihak-pihak. Melalui yurisprudensi, hakim dapat melakukan pendekatan terhadap
sistem hukum yang berlainan, misalnya sistem hukum Anglo Saxon. Dengan
demikian, kekosongan hukum dapat diatasi, sehingga perlindungan hukum terhadap
pihak-pihak terutama yang berusaha di Indonesia dapat terjamin, misalnya
perusahaan penanaman modal asing di Indonesia.
Banyak sudah
yurisprudensi yang bisa dijadikan sumber hukum perusahaan dan sudah terjadi di
Indonesia, misalnya mengenai penggunaan merek dagang, jual beli perdagangan,
pilihan hukum, leasing, seperti putusan Mahkamah Agung berikut ini:
1)
Perkara merek Nike, No.220/PK/Pdt/1986, 16 Desember
1986
2)
Perkara merek Snoopy dan Woodstok, No.1272/1984, 15
Januari 1987
3)
Perkara merek Ratu Ayu, No. 341/PK/Pdt/1986, 4 Maret
1987
4)
Perkara penyerahan barang impor tanpa bill of lading
(konosemen), No.1997/Pdt/1986,1987
5)
Perkara pilihan hukum, No.3253/Pdt/1990, 30 November
1993
6)
Perkara Leasing, No. 1131 K/Pdt/1987, 14 November 1988
d.
Kebiasaan
Dalam
praktik perusahaan, kebiasaan merupakan sumber yang dapat diikuti oleh para
pengusaha. Dalam undang-undang dan perjanjian, tidak semua hal mengenai
pemenuhan kewajiban dan hak itu diatur. Jika tidak ada pengaturannya, maka
kebiasaan yang berlaku dan berkembang di kalangan para pengusaha dalam
menjalankan perusahaan dapat diikuti guna mencapai tujuan yang telah disepakti.
Masalahnya adalah apa kriterianya kebiasaan yang dapat diikuti itu.
Kebiasaan
yang dapat diikuti dalam praktik perusahaan adalah yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1)
Perbuatan yang bersifat keperdataan;
2)
Mengenai kewajiban dan hak yang seharusnya dipenuhi;
3)
Tidak bertentangan dengan undang-undang atau
kepatutan;
4)
Diterima oleh pihak-pihak secara sukarela karena
dianggap hal yang logis dan patut; dan
5)
Menuju akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak-pihak.
B. Bentuk-Bentuk Badan Usaha (Perusahaan)
Bentuk-bentuk badan usaha/perusahaan (business organization)/ yang
dapat dijumpai di Indonesia sekarang
ini demikian beragam jumlahnya.
Sebagian besar dari bentuk-bentuk badan
usaha tersebut merupakan peninggalan masa lalu (pemerintah Belanda), diantaranya ada yang telah
diganti dengan sebutan
dalam bahasa Indonesia, tetapi masih ada juga sebagian yang tetap mempergunakan nama aslinya. Nama-nama yang masih terus digunakan dan belum diubah pemakainnya misalnya, Burgelijk Maatschap/Maatschap, Vennootschap onder Firma atau Firma
(Fa), dan Commanditaire
Vennootschap (CV). Selain itu, ada pula yang sudah di Indonesiakan
seperti Perseroan
Terbatas atau PT, yang sebenarnya
berasal dari Naamloze Vennootschap (NV). Disini kata
“Vennootschap” diartikan menjadi kata “perseroan”,
sehingga
dengan
demikian dapat dijumpai sebutan
Perseroan
Firma, Perseroan
Komanditer dan Perseroan Terbatas. Bersamaan dengan itu, ada juga yang menggunakan kata perseroan dalam arti luas, yaitu sebagai sebutan perusahaan pada umumnya.[1]
Apabila diperhatikan kata “perseroan”,
berasal dari kata “sero” yang artinya saham atau andil, sehingga perusahaan yang mengeluarkan saham atau sero disebut
perseroan, sedangkan yang memiliki
sero dinamakan “pesero” atau lebih
dikenal dengan sebutan pemegang saham. Kemudian
tentu dipertanyakan, bagaimana halnya dengan
perusahaan yang tidak mengeluarkan
sero
(saham)? Ternyata perusahaan tersebut juga disebut perseroan.[2]
Barangkali, yang paling sesuai untuk pemakaian kata “perseroan” adalah dalam hal
penyebutan Perseroan Terbatas (PT), karena dalam kenyataannya
PT
itu
memang mengeluarkan saham
atau sero.
Seluruh modal PT terbagi
dalam saham, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas.[3] Namun
untuk bentuk usaha seperti Maatschap (demikian juga Firma dan CV) sebaiknya tetap
diterjemahkan dengan
menggunakan
kata
“persekutuan” daripada memakai kata perseroan. Hal ini sesuai dengan arti kata perseroan itu sendiri dan
pula
Maatschap, Firma dan CV tidak menerbitkan saham. Jadi, kata “persekutuan” tetap dipakai
untuk padanan
Maatschap, Firma dan CV dan ini sesuai pula dengan terjemahan yang dipakai dalam KUHPerdata. Tetapi perlu diingat bahwa CV juga mengenal
sekutu
pelepas uang, sehingga ada salah satu jenis CV yang disebut
“CV atas saham” yang modalnya dibentuk dari kumpulan saham-saham. Barangkali untuk jenis “CV atas saham”
tidak ada salahnya untuk menyebutnya sebagai “perseroan”.
Bila kembali pada beberapa
definisi perusahaan
yang dikemukakan
di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk-bentuk usaha itu bermacam-macam,
diantaranya:
1. Ditinjau
dari jumlah pemilik modalnya:
a. Usaha
perseorangan
b. Usaha
dalam bentuk institusi
atau badan (persekutuan)
2. Ditinjau
dari segi himpunan, badan usaha dibagi dua:
a. Himpunan orang (persoonen associatie/nirlaba). Himpunan orang ini memiliki ciri- ciri/kharakter, antara lain: pengaruh asosiasi
terhadap anggotanya sangat besar;
anggotanya sedikit/terbatas; dan anggotanya tidak
mudah keluar/masuk (tertutup). Contohnya IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia); IWAPI (Ikatan Wanita
Pengusaha Indonesia); HIPMI (Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia).
b. Himpunan
modal (capital associatie/laba).
Contohnya Firma; CV; NV/PT
3.
Baik secara teoritis maupun ditinjau
dari status hukumnya, bentuk usaha/perusahaan memiliki dua bentuk:
a.
Bentuk
usaha/perusahaan bukan badan hukum b.
Bentuk usaha/perusahaan badan
hukum
Sepintas lalu kedua badan usaha yang disebut terakhir tidak ada perbedaan. Namun jika dilihat dari perspektif hukum perusahaan, ada perbedaan yang cukup mendasar, yakni masalah
tanggung jawab.
Undang-undang tidak menjabarkan definisi badan hukum. Selama ini istilah badan hukum diadopsi dari istilah belanda (rechtpersoon), atau istilah inggris (legal
persons). Agar uraian dalam
tulisan ini lebih sistematis, maka definisi badan
hukum lebih lanjut akan dijelaskan pada Bab III.
Pada dasarnya, sebagian besar bentuk-bentuk perusahaan
yang ada bentuk asalnya adalah Perkumpulan. Perkumpulan yang dimaksudkan adalah perkumpulan dalam arti luas,
dimana tidak mempunyai
kepribadian
sendiri
dan
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Kepentingan
bersama;
b.
Kehendak
bersama;
c. Tujuan bersama
d. Kerja sama
Keempat unsur ini ada pada tiap-tiap perkumpulan seperti
Persekutuan Perdata, Firma, Koperasi atau Perseroan Terbatas. Namun
sudah
tentu
bahwa
masing-masing
mempunyai unsur tambahan sebagai unsur
pembeda (ciri khas)
antara satu perkumpulan dengan perkumpulan lain.
KUHPerdata, Pasal 1653 hanya menyebutkan jenis-jenis perkumpulan atau badan
hukum:
a. Perkumpulan
yang diadakan oleh kekuasaan umum;
b. Perkumpulan
yang diakui oleh kekuasaan umum;
c. Perkumpulan yang diperkenankan atau untuk suatu maksud tertentu yang tidak
berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan.
Perusahaan yang bukan badan hukum meliputi bentuk-bentuk perusahaan sebagai
berikut:
1. Perusahaan Perseorangan, yang wujudnya berbentuk Perusahaan Dagang (PD) atau
Usaha Dagang (UD)
2. Persekutuan,
yang wujudnya terdiri dari bentuk-bentuk:
a.
Perdata
(Maatschap)
b.
Persekutuan Firma (Fa)
c.
Persekutuan Komanditer (CV)
Sedangkan perusahaan berbadan hukum
meliputi bentuk-bentuk perusahaan sebagai berikut:
1. Maskapai
Andil Indonesia (IMA)
2. Perseroan
Terbatas (PT)
3. Koperasi
4. Badan
Usaha Milik Negara (BUMN)
a.
Perusahaan Perseroan (Persero)
b.
Perusahaan
Umum (Perum)
5. Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD)
Mengingat rumusan badan hukum tidak ditemui dalam undang-undang, maka para ahli
hukum mencoba membuat kriteria
badan usaha/perusahaan yang dapat dikelompokkan sebagai badan hukum jika memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya
pemisahan
harta
kekayaan
antara perusahaan dan harta
pribadi
(pemilik);
b. Mempunyai tujuan tertentu;
c. Mempunyai kepentingan sendiri;
d. Adanya
oraganisasi yang teratur.
Jika tidak memenuhi unsur-unsur tersebut
di atas, suatu
badan usaha tidak
dapat dikelompokkan sebagai
badan hukum. Berikut
dicoba dijabarkan badan usaha/perusahaan yang tidak termasuk dalam kelompok badan hukum.
C. Kedudukan Hukum Perusahaan
Ruang
lingkup Hukum Perusahaan ada pada lapangan Hukum Perdata (khususnya Hukum
Dagang) dan sebagian ada pada Hukum Administrasi Negara yang tercermin pada
peraturan perundang-undangan di luar KUHPerdata dan KUHD. Namun apabila dilihat
dari obyek usaha dan tata perniagaannya, Hukum Perusahaan termasuk di dalam
lapangan Hukum Perdata khususnya bidang Hukum Harta Kekayaan yang mana di
dalamnya terletak Hukum Dagang. Sedang apabila dilihat dari segi kegiatan
usahanya yang bergerak di dalam kegiatan ekonomi pada umumnya, maka Hukum
Perusahaan ini termasuk di dalam cakupan Hukum Ekonomi.
Dengan
demikian, kedudukan Hukum Perusahaan terletak pada Hukum Dagang (termasuk Hukum
Perdata) sekaligus juga terletak pada Hukum Administrasi Negara dan Hukum
Ekonomi. Dengan kata lain, Hukum Perusahaan terletak dalam Hukum Privat
sekaligus pada Hukum Publik dan Hukum Ekonomi. Sehingga dapat dikatakan bahwa
perusahaan mempunyai tiga aspek sekaligus, yaitu Ekonomi Perusahaan, Hukum Dagang/Perdata
(Privat) dan Hukum Administrasi Negara (publik).