Senin, 06 April 2015

Hukum Perusahaan

MATERI I

HUKUM PERUSAHAAN


1.      Pengertian  Hukum  Perusahaan
Secara historis, istilah Perusahaan berasal dari Hukum Dagang yang merupakan hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. Hukum Dagang ini merupakan hukum perdata khusus yang dirancang atau diciptakan bagi kaum pedagang. Artinya, permberlakuannya hanya diperuntukkan bagi kaum pedagang saja, tidak untuk digunakan oleh orang-orang di luar pedagang.
Istilah Perusahaan lahir sebagai wujud perkembangan yang terjadi dalam dunia usaha yang kemudian diakomodir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Masuknya istilah Perusahaan dalam KUHD diawali dengan ditemukannya beberapa kekurangan atau kelemahan dalam KUHD. Namun istilah Perusahaan ini tidak dirumuskan secara eksplisit seperti apa yang terjadi dalam istilah Pedagang dan Pebuatan Perdagangan. Namun demikian, beberapa ahli hukum sudah memberikan beberapa rumusan sebagai pegangan yang akan dipaparkan lebih lanjut di bawah ini. Sebelumnya akan dijelaskan beberapa pokok pikiran yang menjadi alasan atau latar belakang terjadinya pembaharuan dalam Hukum Dagang sehingga melahirkan istilah Perusahaan dan pada akhirnya melahirkan istilah dan rumusan Hukum Perusahaan.
Saat ini, beberapa pasal dari Buku I KUHD tentang pedagang pada umumnya, sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam dunia usaha atau perdagangan. Ketidaksesuaian itu disebabkan adanya kekurangan dan atau kelemahan yang dikandung oleh definisi pedagang dan perbuatan perdagangan (perniagaan), sehingga menyebabkan terbatasnya ruang lingkup usaha yang bisa dilakukan dan menjadi bagian kajian dalam Hukum Dagang. Hal inilah yang kemudian mendorong pembuat undang-undang mengambil keputusan mencabut ketentuan Pasal 2 s/d Pasal 5 KUHD perihal pedagang dan perbuatan perniagaan. Menurut Pasal 2 KHUD (lama), pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan sebagai pekerjaan sehari-hari. Perbuatan perniagaan itu selanjutnya diperjelas oleh Pasal 3 KUHD (lama), yaitu perbuatan pembelian barang-barang untuk dijual kembali. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 KUHD (lama) tersebut, HMN. Purwosutjipto mencatat bahwa:
a.    Perbuatan perniagaan hanya menyangkut perbuatan pembelian saja, sedangkan perbuatan penjualan tidak termasuk didalamnya, karena penjualan adalah tujuan pembelian; dan
b.    Pengertian barang di sini hanya berarti barang bergerak saja, tidak termasuk di dalamnya barang tetap (tidak bergerak).
Pasal 4 KUHD (lama) kemudian memerinci lagi beberapa kegiatan yang termasuk dalam kategori perbuatan perniagaan, yang salah satunya adalah perbuatan jual-beli perlengkapan kapal dan keperluan kapal. Dengan demikian, bila mengacu pada pendapat Purwosutjipto di atas mengenai ketentuan Pasal 3 KUHD (lama), kelihatan bertentangan dengan Pasal 4 KUHD (lama) yang menyebut jual-beli sebagai perbuatan perniagaan.
Sedangkan Pasal 5 KUHD (lama) hanya menambahkan kegiatan-kegiatan yang termasuk perbuatan perniagaan khususnya perbuatan-perbuatan perniagaan di laut, seperti perbuatan yang timbul dari kewajiban–kewajiban menjalankan kapal untuk melayari laut, kewajiban-kewajiban mengenai tubrukan kapal, tolong-menolong dan menyimpan barang di laut, dan lain-lain.
Dengan demikian, ada beberapa keberatan yang dapat disimpulkan dan termuat dalam Pasal 2 s/d Pasal 5 KUHD, sekaligus keberatan terhadap prinsip hukum dagang bagi pedagang, yaitu:
a.    Perkataan “barang” dalam Pasal 3 KUHD (lama) hanya diartikan barang-barang bergerak saja. Padahal dalam lalu lintas perniagaan sekarang, barang-barang tidak bergerak juga merupakan obyek perniagaan.
b.    Perbuatan “menjual” dalam Pasal 3 KUHD (lama), tidak termasuk dalam pengertian perbuatan perniagaan, hal ini bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 4 KUHD (lama), yang menyebutkan perbuatan menjual adalah termasuk dalam pengertian perbuatan perniagaan. Jadi, ada pertentangan antara Pasal 3 dan Pasal 4 KUHD (lama).
c.    Bila terjadi perselisihan antara pedagang dengan non-pedagang, muncul beberapa pendapat mengenai pemberlakuan hukum dagang:
1)      Menurut H.R, hukum dagang baru berlaku bila bagi tergugat perbuatan yang dipertentangkan adalah perbuatan perniagaan. Ini artinya bila tergugat adalah pedagang, dan penggugat bukan pedagang, maka disini akan berlaku hukum dagang. Akhirnya hukum dagang juga diberlakukan bagi non-pedang. Pendapat H.R ini telah melanggar prinsip hukum dagang bagi pedagang. (pendapat ini bertitik tolak pada subjek hukum di pihak tergugat)
2)      Pendapat kedua, menyatakan bahwa hukum dagang berlaku kalau perbuatan yang disengketakan itu bagi kedua belah pihak merupakan perbuatan perniagaan. (pendapat ini bertitik tolak pada obyek sengketa)
Dari pendapat di atas terlihat jelas bahwa prinsip hukum dagang bagi pedagang tidak bisa dipertahankan lagi dalam situasi saat ini. Karena pedagang memiliki peluang melakukan sengketa dengan siapapun termasuk yang bukan pedagang. Oleh karena itu, terhitung sejak tanggal 17 Juli 1938, dimulailah babak baru pemberlakuan Hukum Dagang (KUHD) tidak semata-mata bagi kalangan pedagang tetapi juga mereka yang berprofesi bukan pedagang. Selanjutnya istilah pedagang dan perbuatan perdagangan (perniagaan) dihapuskan dan diganti dengan istilah “Perusahaan”.
Sebagai wujud keberadaan dan penerimaan istilah Perusahaan dalam KUHD, bisa diperhatikan rumusan pasal-pasal antara lain sebagai berikut:
a.       Pasal 6 ayat (1): “Setiap orang yang menyelenggarakan perusahaan diwajibkan untuk membuat catatan-catatan menurut syarat-syarat perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang apa saja yang berhubungan dengan perusahaannya, dengan cara yang demikian sehingga dari catatan-catatan yang diselenggarakan itu sewaktu-waktu dapat diketahui segala hak dan kewajibannya”.
b.      Pasal 16 KUHD : “Firma adalah suatu perusahaan yang didirikan untuk menjalankan suatu usaha dengan nama bersama”.
c.       Pasal 36 ayat (1) KUHD : “Perseroan Terbatas tidaak mempunyai Firma, dan tidak memakai nama salah seorang atau lebih dari para persero, melainkan mendapat namanya hanya dari tujuan perusahaan saja”.
Istilah “Perusahaan” adalah istilah yang lahir sebagai akibat adanya pembaharuan dalam Hukum Dagang. Oleh karena itulah, sejak beberapa pasal dalam Buku I KUHD dicabut, maka sejak saat itu pula istilah dan pengertian pedagang dan perbuatan perdagangan (perniagaan) tidak layak lagi mewakili kepentingan kaum pedagang khususnya dan masyarakat pada umumnya yang kemungkinan memiliki hubungan, kepentingan dan atau ikut ambil bagian dalam aktivitas perusahaan.
Salah satu bagian penting perkembangan dalam Hukum Dagang adalah munculnya istilah baru yang berusaha mengambil alih peranan Hukum Dagang, yaitu istilah Hukum Perusahaan. Istilah Hukum Perusahaan ini jelas merupakan rangkaian tak terputus dengan istilah Perusahaan. Bahkan saat ini Hukum Perusahaan sudah dijadikan materi kuliah wajib dibeberapa perguruan tinggi yang terkesan berdiri sendiri berdampingan dan atau menggantikan Hukum Dagang. Walaupun secara subtansi keduanya hampir tidak ada perbedaan (karena Hukum Perusahaan merupakan bagian khusus dari Hukum Dagang), tetapi secara umum bidang hukum baru ini lebih diminati dan mudah pahami bila dibandingkan dengan Hukum Dagang. Hukum Dagang lebih banyak dikenal oleh mahasiswa-mahasiswa fakultas hukum, sedangkan Hukum Perusahaan (Organisasi Perusahaan) merupakan materi kuliah yang selalu disajikan pada fakultas-fakultas ekonomi sehingga wajar bila Hukum Perusahaan lebih banyak dikenal oleh mahasiswa-mahasiswa fakultas ekonomi.
Hingga saat ini istilah Hukum Perusahaan masih belum bisa menjadi istilah yang berdiri sendiri karena ia termasuk istilah yang lahir dari lapangan Hukum Perdata (Hukum Dagang). Dalam KUHD, istilah dan pengertian Hukum Perusahaan juga tidak dijumpai karena ia senasib dengan istilah Perusahaan. Pembentuk undang-undang tampaknya mulai sadar bahwa dengan membuat rumusan pengertian Perusahaan (termasuk didalamnya Hukum Perusahaan) berarti mengulangi kesalahan yang sama seperti yang terjadi pada rumusan pengertian pedagang dan perbuatan perdagangan. Pembuat undang-undang berkeinginan agar istilah Perusahaan dan Hukum Perusahaan berkembang dengan sendirinya mengikuti perkembangan yang terjadi dalam dunia usaha atau perusahaan.
Menurut Soekardono, Perusahaan adalah salah satu pengertian ekonomi yang juga masuk ke dalam lapangan Hukum Perdata, khususnya Hukum Dagang. Melalui Staatblad 1938/276, istilah Perusahaan masuk ke dalam Hukum Dagang dengan menggantikan istilah pedagang dan perbuatan perdagangan.
Istilah Perusahaan di dalam bahasa Indonesia mempunyai 3 (tiga) pengertian yang diadopsi dari istilah Belanda, yaitu:
a.       Onderneming.
Dalam istilah onderneming tercermin seakan-akan adanya suatu kesatuan kerja (wekeenheid), namun ini terjadi dalam suatu perusahaan.
b.      Bedrijf
Bedrijf diterjemahkan dengan “perusahaan”, yang mana dalam hal ini tercermin adanya penonjolan pengertian yang bersifat ekonomis yang bertujuan mendapatkan laba, dalam bentuk suatu usaha yang menyelenggarakan suatu perusahaan. Dengan kata lain, bedrijf ini merupakan kesatuan teknik untuk produksi, seperti misalnya Huisvlijt (home industri/industri rumah tangga), Nijverheid (kerajinan/keterampilan khusus), Fabriek (pabrik).
c.       Vennootschap
Vennootschap mengandung pengertian juridis karena adanya suatu bentuk usaha yang ditimbulkan dengan suatu perjanjian untuk kerja sama dari beberapa orang sekutu atau pesero.
Dengan demikian dapat disimpulkan perbedaan pengertian bedrijf (perusahaan) dan onderneming yaitu jika bedrijf mengandung pengertian kesatuan finansial-ekonomis, maka onderneming merupakan suatu kesatuan kerja (werkeenheid) yang semata-mata mengandung pengertian ekonomis saja, dan kedua-duanya mengandung pengertian yang bersifat non juridis. Sedangkan vennootschap mengandung pengertian yang bersifat juridis.
Beberapa ahli atau ilmuan memberikan pendapat tentang istilah Perusahaan, sebagai berikut:
a.       Pemerintah Belanda (Mentri Kehakiman Belanda) ketika membacakan Memorie van Toelichting (rencana undang-undang) Wetboek van Koophandel (WvK) di depan parlemen, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara tidak terputus-putus, dengan terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba.
b.      Molengraaff (dalam bukunya Leindraad I halaman 38) berpendapat bahwa perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan. Di sini Molengraaff memandang perusahaan dari sudut ekonomi.
c.       Polak (dalam bukunya Handboek I halaman 88) memberikan pendapat bahwa sebuah perusahaan dianggap ada bila diperlukan adanya perhitungan-perhitungan tentang laba-rugi yang dapat diperkirakan, dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan. Di sini Polak memandang perusahaan dari sudut komersil.
Dalam beberapa undang-undang juga ditemukan uraian mengenai definisi perusahaan, antara lain:
a.       Pasal 1 huruf b UU No.3 Tahun 1992, tentang Wajib Daftar Perusahaan, mendefiniskan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan atau laba.
b.      Pasal 1 butir 2 UU No.8 Tahun 1997, tentang Dokumen Perusahaan, menyebutkan bahwa perusahaan adalah bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dangan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik yang diselenggarakan oleh perseorangan maupun badan usaha, baik berbentuk badan hukum ataupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Kalau meneliti Bab I (Pasal 2 s/d Pasal 5 yang sudah dihapuskan) KUHD, maka istilah perbuatan dagang meliputi perbuatan membeli dan menjual barang-barang saja. Berdasarkan definisi ini, bisa dipahami bahwa istilah Perusahaan lebih luas artinya daripada istilah perbuatan dagang. Maka segala sesuatu yang dapat menghasilkan keuntungan secara materil dapat dimaksudkan dengan Perusahaan. Besar kecilnya, ataupun bentuk perusahaan tidak menjadi soal.
Dalam pada itu, Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) telah memberi definisi dalam arrestnya 25 Nopember 1925, bahwasanya “dianggap ada suatu perusahaan kalau seseorang menyelenggarakan sesuatu secara teratur (sifatnya terus-menerus; ada pembukuan, penulis), yang ada hubungannya dengan menjalankan perdagangan untuk mendapatkan keuntungan berupa uang”.
Berbicara mengenai pengertian Hukum Perusahaan, maka hal ini juga tidak bisa dipisahkan dengan pengertian Hukum Dagang. Sudah diketahui bahwa Hukum Dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. Bila merujuk pada pendapat salah satu ahli tentang istilah Perusahaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Perusahaan adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan dalam lapangan perusahaan, yang dilakukan secara tidak terputus-putus, bertindak keluar, terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba atau penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan.
Berkembangnya dunia usaha dan atau perdagangan membawa akibat berkembangnya pengertian perusahaan, baik menyangkut bentuk, bidang kegiatan/usaha dan sebagainya. Dalam perkembangan ini muncullah apa yang disebut Hukum Perusahaan atau Corporate Law.
Di lihat dari obyek pengaturannya, maka Hukum Perusahaan ini diatur di dalam:
a.       Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
b.      Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD); dan
c.       Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Dengan demikian, Hukum Perusahaan dapat dikatakan merupakan pengkhususan dari beberapa bab di dalam KUHPerdata dan KUHD, ditambah dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang Perusahaan.
Apabila Hukum Dagang merupakan hukum khusus (lex specialis) dari Hukum Perdata (yang bersifat lex generalis), maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hukum Perusahaan merupakan pengkhususan lebih lanjut dari Hukum Dagang. Dari sudut pandang ini (kedudukan), Hukum Perusahaan diartikan sebagai hukum yang secara khusus mengatur tentang bentuk-bentuk badan usaha (perusahaan) serta segala aktivitas yang berkaitan dengan perusahaan.
Mengacu pada Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan (Pasal 1 huruf b UU No.3 Tahun 1992, tentang Wajib Daftar Perusahaan), maka perusahaan dapat didefinisikan sebagai “setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, terus-menerus, dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia dengan tujuan meperoleh keuntungan dan atau laba”. Bertitik tolak dari definisi tersebut, maka lingkup pembahasan Hukum Perusahaan meliputi dua hal pokok, yaitu bentuk usaha dan jenis usaha. Dengan demikian, Hukum Perusahaan adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur tentang bentuk usaha dan jenis usaha.
Dari beberapa definisi perusahaan yang dikemukakan di atas, sesuatu disebut perusahaan apabila memenuhi unsur-unsur di bawah ini:
a.       Ia merupakan bentuk usaha
b.      Bentuk usaha itu diselenggarakan oleh perseorangan maupun badan usaha, baik berbentuk badan hukum ataupun bukan badan hukum;
c.       Melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus;
d.      Bertindak keluar dengan cara memperniagakan barang-barang atau mengadakan
e.       perjanjian-perjanjian;
f.       Membuat perhitungan tentang laba-rugi yang dicatat dalam pembukuan
g.      Bertujuan memperoleh keuntungan atau laba
Dengan demikian, ketika bicara perusahaan sudah dipastikan hal itu berhubungan dengan bentuk-bentuk usaha dan segala hal yang berkaitan dengan bentuk usaha (hukum perusahaan) yang kesemuanya berujung pada laba sebagai unsur mutlak. Unsur laba ini juga menjadi tujuan bagi perbuatan perniagaan. Namun demikian, perbuatan perusahaan lebih luas dari perbuatan perniagaan, sebab ada beberapa perbuatan yang termasuk dalam pengertian perusahaan tetapi tidak termasuk dalam pengertian perbuatan perniagaan, seperti dokter, pengacara, notaris, juru sita, akuntan, dan lain-lain.
2.      Sejarah Hukum  Perusahaan
Mempelajari sejarah Hukum Perusahaan di Indonesia tidak lepas kaitannya dengan sejarah Hukum Dagang yang pada dasarnya memiliki hubungan erat dengan sejarah hukum dagang Belanda. Sejarah hukum dagang Belanda tentu ada kaitannya dengan sejarah hukum dagang Perancis. Sedangkan hukum dagang Perancis tidak bisa dipisahkan dari hukum Romawi yang dikenal dengan Corpus Iuris Civilis. Corpus Iuris Civilis peninggalan Romawi tersebut terdiri dari 4 buku:
a.       Institusionil (lembaga). Buku I ini memuat tentang lembaga-lembaga yang ada pada masa kekaisaran Romawi, termasuk didalamnya Consules Mercatorum (pengadilan untuk kaum pedagang).
b.      Pandecta. Buku II ini memuat asas-asas dan adagium hukum, seperti “ asas facta sun servanda (berjanji harus ditepati); asas partai otonom (kebebasan berkontrak); unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi), dan lain-lain.
c.       Codex. Memuat uraian pasal demi pasal yang tidak memisahkan antara hukum perdata dan hukum dagang.
d.      Novelete. Berisi karangan atau cerita.
Perkembangan pesat Hukum Dagang sebenarnya telah dimulai sejak abad pertengahan di Eropah, kira-kira dari tahun 1000 sampai tahun 1500. Asal mula perkembangan hukum ini dapat dihubungkan dengan tumbuh dan berkembangnya kota-kota dagang di Eropah Barat. Pada zaman itu di Italia dan Perancis Selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan, seperti Genoa, Florence, Vennetia, Marseille, Bercelona, dan lain-lain. Hukum Romawi (Corpus Iuris Civilis) ternyata tidak dapat menyelesaikan seluruh perkara-perkara yang timbul di bidang perdagangan. Oleh karena itulah di kota-kota Eropah Barat disusun peraturan-peraturan hukum baru yang berdiri sendiri disamping Hukum Romawi yang berlaku.
Hukum yang baru dan berdiri sendiri ini berlaku hanya bagi pedagang dan hubungan-hubungan perdagangan, sehingga lebih populer ia disebut “Hukum Pedagang” (Koopmansrecht). Kemudian, pada abad ke-16 dan ke-17 sebagian besar kota di Perancis mulai menyelenggarakan pengadilan-pengadilan istimewa khusus menyelesaikan perkara-perkara di bidang perdagangan (pengadilan pedagang).
Hukum pedagang ini awalnya belum merupakan unifikasi (berlakunya satu sistem hukum untuk seluruh daerah), karena berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap daerah mempunyai hukum pedagang sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lainnya. Kemudian, disebabkan pesatnya perkembangan dalam dunia perdagangan dan eratnya hubungan antar daerah, ditambah dengan banyaknya konflik-konflik dagang yang menemui jalan buntu di masa itu, telah mendorong keinginan untuk membentuk satu kesatuan hukum (unifikasi) di bidang perdagangan yang berlaku untuk seluruh daerah.
a.       Perancis
Pada abad 17 di Perancis, masa pemerintahan Raja Louis XIV (1643-1715). Raja Louis XIV ini memiliki seorang Perdana Mentri bernama Colber, dan Colber ini dikenal memiliki minat yang sangat tinggi dengan perkembangan hukum. Oleh karena itu ia memerintahkan untuk membuat ordonansi yang mengatur tentang perdagangan.
Kodifikasi hukum dagang pertama dibuat pada tahun 1673, yang dikenal dengan nama Ordonance de Commerce. Ordonansi ini isinya tentang pedagang, bank dan pedagang perantara (makelar), catatan-catatan dagang, badan usaha, perbuatan dagang, surat berharga (seperti wesel), paksaan badan terhadap pedagang (gijzeling), pemisahan barang-barang antara suami-istri dimana salah satunya menjadi pedagang melalui huwelijk overeenskomst, pernyataan pailit dan peradilan dalam perkara-perkara dagang, dan sebagainya.
Kemudian pada tahun 1681, lahirlah kodifikasi hukum dagang kedua yang dikenal dengan nama Ordonance de la Marine. Dalam ordonansi ini dimuat segala peraturan-peraturan mengenai kapal dan perlengkapan kapal, nahkoda dan anak buah kapal, perjanjian perdagangan di laut, polisi pelabuhan dan perikanan laut. Pada umumnya ordonansi ini mencakup semua hal berkaitan dengan kodifikasi hukum laut atau hukum perdagangan laut (untuk pedagang-pedagang kota pelabuhan.
Kedua kitab hukum tersebut dijadikan sumber bagi pengkodifikasian hukum dagang baru yang mulai dikerjakan pada permulaan abad ke-19. Kodifikasi hukum dagang baru tersebut bernama Code de Commerce yang mulai berlaku pada tahun 1807. Beberapa tahun sebelum kodifikasi hukum dagang berlaku, sebenarnya juga sudah disahkan kodifikasi hukum perdata yaitu Code Civil (1804). Dengan demikian, pada tahun 1807 di Perancis terdapat Hukum Dagang yang dikodifikasikan dalam Code de Commerce yang dipisahkan dari Hukum Perdata (Sipil) yang dikodifikasikan dalam Code Civil. Code de Commerce ini memuat peraturan-peraturan hukum yang timbul dalam bidang perdagangan sejak zaman pertengahan.
Di Romawi, ditemukan adanya sebuah pengadilan khusus bagi para pedagang yang dinamakan Consules Mercatorum, yang kemudian oleh hukum dagang Perancis diambil alih dengan nama Judge et Consuls. Hakim-hakim Consules Mercatorum diambil dari para pedagang itu sendiri. Badan peradilan ini berdiri sendiri, terpisah dari badan peradilan umum lainnya. Lembaga penyelesaian sengketa dagang ini mirip dengan “Arbitration” (pertamakali diperkenalkan di Amerika) yang memang lebih popular diberlakukan saat ini dalam hubungan-hubungan dagang atau bisnis yang berskala internasional.
Sebenarnya, masuknya pengaruh hukum Romawi dalam hukum dagang Perancis ini disebut dengan gejala Resepsi hukum Romawi. Pemisahan hukum perdata dan hukum dagang di Perancis adalah masuk akal disebabkan adanya perbedaan strata sosial dan golongan-golongan masyarakat yang berbeda, yang tidak persis sama dengan keadaan di Belanda.
b.      Belanda
Belanda sebagai negara bekas jajahan Perancis, kondisinya agak berbeda, dimana telah terjadi pluralisme (keanekaragaman) hukum di bidang hukum perdata. Ada hukum Romawi, hukum Perancis, hukum Belgia, hukum German, dan peraturan-peraturan Raja atau Gubernur. Dapat dibayangkan bahwa pluralisme hukum tersebut telah menyebabkan tidak adanya kepastian hukum.
Setahun setelah Belanda merdeka dari Perancis (tahun 1813), memperhatikan keadaan pluralisme hukum tersebut dan dampaknya, serta atas amanat UUD Belanda untuk mengkodifikasi hukum privat (hukum perdata dan hukum dagang), maka Raja Lodewijk Napoleon memerintahkan pembentukan sebuah Komisi Pembuat Undang-undang. Komisi ini diketuai oleh ahli hukum (seorang guru besar) Belanda yang bernama Van Kemper. Komisi ini terbentuk pada tahun 1814. Dua tahun berikutnya (1816) berhasil disiapkan sebuah RUU yang dinamakan “Ont Werp Kemper” (naskah rancangan Kemper) yang terdiri dari 4000 pasal, yang bertujuan untuk menghapuskan pengaruh hukum Perancis. Tetapi RUU ini harus dilimpahkan lebih dahulu ke Paerlemen Belanda. Hasilnya, Parlemen Belanda menolak RUU ini untuk disahkan menjadi UU karena terlalu berbau Belanda. Penolakan ini dilakukan atas prakarsa seorang hakim tinggi Belanda keturunan Belgia bernama Nikolai, yang tidak senang dengan RUU tersebut. Karena ditolak, Raja kemudian mengembalikan RUU tersebut kepada Komisi. Selanjutnya Kemper berusaha menyelesaikan revisi RUU tersebut selama 4 tahun yang dinamakan dengan “Ont Werp Kemper II” (1820). Namun demikian, RUU revisi itu ditolak untuk kedua kalinya oleh Paerlemen Belanda, sehingga tugas komisi tersebut dinyatakan gagal. Kemper kemudian frustasi dan tidak mau lagi menjadi Ketua Komisi, Ia kemudian meninggal dunia pada tahun 1824.
Dalam usul KUHD Belanda 1820 (Ont Werp Kemper II) telah direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas 3 kitab, akan tetapi didalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara yang timbul di bidang perdagangan, dan perkara-perkara dagang itu untuk selanjutnya diselesaikan di muka pengadilan biasa. Walaupun Ont Werp Kemper II ditolak, namun usul penghapusan pengadilan khusus bagi pedagang tetap menjadi muatan penting yang ditindaklanjuti oleh pengganti Kemper.
Pengganti Kemper sebagai Ketua Komisi Perancang Hukum Dagang adalah Nikolai. Dalam pekerjaannya, Komisi dibawah pimpinan Nikolai ternyata tidak mampu mewujudkan gagasannya dalam menciptakan Hukum Dagang baru. Akhirnya setelah melalui sebuah rapat Komisi, diputuskanlah untuk mengadakan studi banding ke Perancis. Komisi memutuskan untuk mengambil alih Code Civil dan Code du Commerce Perancis untuk dialihbahasakan menjadi BW dan WvK (1838).
Pada akhir abad 19, Molengraaff merencanakan suatu UU Kepailitan yang akan menggantikan Buku III KUHD Belanda. Rencana Molengraaff ini berhasil diwujudkan menjadi UU Kepailitan tahun 1893 (mulai berlaku tahun 1896). Berdasarkan asas konkordansi, perobahan ini juga dilakukan di Indonesia pada tahun 1906 yang dikenal dengan Failissement Verordenig Stb. 1905/217 jo Stb. 1906/348Stb.
Dari beberapa hal diatas, sarjana Van Kant beranggapan bahwa hukum dagang itu merupakan hukum tambahan daripada hukum perdata, yaitu suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus.
Akibat adanya hukum dagang khusus bagi pedagang (hukum pedagangatau koopmanrecht). Konsekuensinya, hanya para pedagang saja yang bisa melakukan kegiatan dagang seperti mendirikan CV, Fa, NV. Bagi non pedagang, hanya dibolehkan mendirikan badan usaha lain seperti maatschap yang diatur dalam KUHPerdata.
Melihat keadaan tersebut di atas, Molengraff dan Van Apeldooren tidak setuju adanya diskriminasi hukum yang membedakan antara pedagang dan non pedagang. Atas anjuran dua sarjana itu (khususnya Molengraff) menyebabkan dicabutnya Pasal 2 s/d Pasal 5 KUHD dengan stb. 1938/276 tanggal 17 Juli 1938. Sedangkan di negeri Belanda pencabutan pasal-pasal tersebut sudah lebih dahulu dilakukan pada tanggal 2 Juli 1934 melalui stb. 1934/347.
c.       Indonesia (Hindia Belanda)
Ketika keinginan untuk memberlakukan hukum Belanda di Hindia Belanda (Indonesia), muncullah dua perbedaan pendapat:
a.       Pendapat I: Menginginkan agar seluruh hukum Belanda diberlakukan di Hindia Belanda agar penjajahan Belanda di Hindia Belanda bisa langgeng.
b.      Pendapat II: Tidak setuju asas konkordansi dilaksanakan secara utuh di Hindia Belanda, sebab di masyarakat Indonesia sudah ada hukum yang hidup dan mengatur perikehidupan masyarakatnya yang lebih dikenal dengan sebutan hukum adat (adatrecht). Disamping itu, kenyataannya banyak sekali hukum Belanda (Eropah) yang bertentangan dengan hukum asli orang Indonesia (hukum adat). Namun demikian, tidak ada larangan bagi orang Indonesia untuk menundukkan diri secara sukarela pada hukum Eropah. Untuk mengakomodasi hal ini dibentuklah Lembaga Tunduk Sukarela.
Akhirnya, berdasarkan asas konkordansi kedua kodifikasi itu juga diberlakukan di Indonesia (dahulu Hindia Belanda) dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). KUHD sendiri dipublikasikan pada tanggal 30 April 1847 dalam Stb.1847/23, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848.
3.      Sumber Hukum Perusahaan
Sumber Hukum Perusahaan adalah setiap pihak yang menciptakan kaidah atau ketentuan Hukum Perusahaan. Pihak-pihak tersebut dapat berupa badan legislatif yang menciptakan undang-undang, pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yang menciptakan kontrak, hakim yang memutus perkara yang menciptakan yurisprudensi, masyarakat pengusaha yang menciptakan kebiasaan mengenai perusahaan. Dengan demikian, Hukum Perusahaan itu terdiri dari kaidah atau ketentuan yang tersebar dalam perundang-undangan, kontrak, yurisprudensi, dan kebiasaan mengenai perusahaan.
a.       Perundang-undangan
Perundang-undangan ini meliputi ketentuan undang-undang peninggalan zaman Hindia Belanda dahulu, yang masih berlaku hingga sekarang berdasarkan aturan peralihan UUD 1945, seperti ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata dan KUHD. Selain itu, sudah banyak undang-undang yang diciptakan oleh Pembuat Undang-undang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 mengenai perusahaan yang berkembang cukup pesat hingga saat ini.
Berlakunya KUHPerdata terhadap semua perjanjian dapat diketahui berdasarkan ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian baik bernama maupun tidak bernama tunduk pada ketentuan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu. Yang dimaksud dengan bab ini adalah bab kedua tentang perikatan yang timbul karena perjanjian, sedangkan yang dimaksud dengan bab yang lalu adalah bab kesatu tentang perikatan pada umumnya. Kedua bab tersebut terdapat dalam Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang perikatan (verbintenis). Dengan demikian, KUHPerdata berkedudukan sebagai hukum umum (lex generalis). Sedangkan KUHD berkedudukan sebagai hukum khusus (lex specialis). Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 KUHD yang menentukan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam kitab undang-undang ini (KUHD), sekedar dalam undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang. Misalnya dalam KUHPerdata diatur tentang pemberian kuasa (lastgeving), dalam KUHD diatur juga pemberian kuasa secara khusus mengenai surat berharga. Dalam hal ini, ketentuan mengenai pemberian kuasa dalam KUHD yang diberlakukan.
Ada beberapa pendapat sarjana tentang hubungan kedua hukum ini, antara lain:
1)   Van Kant: Hukum Dagang adalah suatu tambahan Hukum Perdata yaitu suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus.
2)   Van Apeldoorn: Hukum Dagang suatu bagian istimewa dari lapangan Hukum Perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Buku III KUHPerdata.
3)   Sukardono: Bahwa Pasal 1 KUHD memelihara kesatuan Hukum Perdata Umum dengan Hukum Dagang, sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHPerdata.
4)   Tirtaamijaya: Hukum Dagang adalah suatu Hukum Sipil yang istimewa.
Di negara Swiss, pengaturan hukum perdatanya dibagi dua, yaitu Zivilgesetzbuch dan Obligationenrecht. Yang pertama sama dengan KUHPerdata Indonesia minus hukum perikatan. Sedangkan yang kedua, khusus mengenai hukum perikatan dan hukum dagang. Hubungan keduanya bersifat “koordinasi” dan saling melengkapi.
Saat ini di Belanda, sudah terjadi penyatuan BW dan WvK, dengan sebutan BW Baru Belanda (Nieuw Nederland Burgelijk Wetboek). Dengan demikian, di Belanda sudah tidak dikenal pembagian yang terpisah antara hukum perdata (umum) dan hukum dagang (khusus).
Adapun sistematika BW Baru Belanda, terdiri dari:
1)   Buku I, tentang Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Famillierecht),
2)   Buku II, tentang Badan Hukum (Rechtspersonen),
3)   Buku III, tentang Hukum Kekayaan Pada Umumnya (Vermogensrecht in het Algemeen),
4)   Buku IV, tentang Hukum Waris (Erfrecht),
5)   Buku V, tentang Hukum Benda (Zakelijk Rechten),
6)   Buku VI, tentang Hukum Perikatan Pada Umumnya (Algemeen Gedeelte van het Verbintenissenrecht),
7)   Buku VII, tentang Perjanjian-perjanjian Khusus (Bijzondere Overeenkomsten), dan
8)   Buku VIII, tentang Sarana Lalu Lintas dan Pengangkutan (Verkeersmiddelen en Vervoer).
Selain dari ketentuan yang masih berlaku di dalam KUHPerdata dan KUHD, juga sudah diundangkan banyak sekali undang-undang yang dibuat oleh Pembuat Undang-Undang RI yang mengatur tentang perusahaan antara lain mengenai;
1)      Badan usaha milik negara (BUMN);
2)      Hak milik intelektual (HAKI);
3)      Pengangkutan darat, perairan, dan udara;
4)      Perasuransian (kerugian, sejumlah uang, dan sosial);
5)      Perdagangan dalam dan luar negeri;
6)      Perkoperasian dan UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah);
7)      Pasar modal dan penanaman modal;
8)      Hak-hak jaminan atas tanah;
9)      Izin usaha dan pendaftaran perusahaan;
10)  Perbankan dan lembaga pembiayaan;
11)  Perseroan terbatas;
12)  Dokumen perusahaan;
b.      Kontrak Perusahaan
Pada zaman modern ini semua perjanjian atau kontrak perusahaan selalu dibuat tertulis, baik yang bertaraf nasional maupun internasional. Kontrak perusahaan ini merupakan sumber utama kewajiban dan hak serta tanggung jawab pihak-pihak. Jika terjadi perselisihan mengenai pemenuhan kewajiban dan hak, pihak-pihak juga telah sepakat untuk menyelesaikannya secara damai. Tetapi jika tidak tercapai kesepakatan antara kedua pihak, biasanya mereka sepakat untuk menyelesaikannya melalui arbitrase atau pengadilan. Hal ini secara tegas dicantumkan dalam kontrak.
Dalam pelaksanaan kontrak perusahaan selalu melibatkan pihak ketiga, baik mengenai cara penyerahan barang maupun cara pembayaran harga. Dalam penyerahan barang, pihak ketiga yang dapat dilibatkan adalah perusahaan ekspedisi, pengangkutan, pergudangan, asuransi. Sedangkan dalam pembayaran harga, pihak ketiga yang selalu dilibatkan adalah bank. Pada perusahaan modern, semua lalu lintas pembayaran selalu dilakukan melalui bank dengan menggunakan surat berharga yang disertai oleh dokumen-dokumen penting lainnya.
Kontrak perusahaan selalu terikat dengan ketentuan undang-undang berdasarkan asas pelengkap, yaitu asas yang menyatakan bahwa kesepakatan pihak-pihak yang tertuang dalam kontrak merupakan ketentuan yang utama yang wajib diikuti oleh pihak-pihak. Tetapi jika dalam kontrak tidak ditentukan, maka ketentuan undang-undang yang diberlakukan. Pada kontrak yang bertaraf nasional mungkin tidak ada masalah mengenai ketentuan undang-undang ini. Pada kontrak yang bertaraf internasional mungkin timbul masalah, yaitu ketentuan undang-undang pihak mana yang diberlakukan, disini pihak-pihak berhadapan dengan masalah pilihan hukum (choice of law).
c.       Yurisprudensi
Yurisprudensi merupakan sumber hukum perusahaan yang dapat diikuti oleh pihak-pihak terutama jika terjadi sengketa mengenai pemenuhan kewajiban dan hak tertentu. Dalam yurisprudensi, kewajiban dan hak yang telah ditetapkan oleh hakim dipandang sebagai dasar yang adil untuk menyelesaikan sengketa kewajiban dan hak antara pihak-pihak. Melalui yurisprudensi, hakim dapat melakukan pendekatan terhadap sistem hukum yang berlainan, misalnya sistem hukum Anglo Saxon. Dengan demikian, kekosongan hukum dapat diatasi, sehingga perlindungan hukum terhadap pihak-pihak terutama yang berusaha di Indonesia dapat terjamin, misalnya perusahaan penanaman modal asing di Indonesia.
Banyak sudah yurisprudensi yang bisa dijadikan sumber hukum perusahaan dan sudah terjadi di Indonesia, misalnya mengenai penggunaan merek dagang, jual beli perdagangan, pilihan hukum, leasing, seperti putusan Mahkamah Agung berikut ini:
1)      Perkara merek Nike, No.220/PK/Pdt/1986, 16 Desember 1986
2)      Perkara merek Snoopy dan Woodstok, No.1272/1984, 15 Januari 1987
3)      Perkara merek Ratu Ayu, No. 341/PK/Pdt/1986, 4 Maret 1987
4)      Perkara penyerahan barang impor tanpa bill of lading (konosemen), No.1997/Pdt/1986,1987
5)      Perkara pilihan hukum, No.3253/Pdt/1990, 30 November 1993
6)      Perkara Leasing, No. 1131 K/Pdt/1987, 14 November 1988
d.      Kebiasaan
Dalam praktik perusahaan, kebiasaan merupakan sumber yang dapat diikuti oleh para pengusaha. Dalam undang-undang dan perjanjian, tidak semua hal mengenai pemenuhan kewajiban dan hak itu diatur. Jika tidak ada pengaturannya, maka kebiasaan yang berlaku dan berkembang di kalangan para pengusaha dalam menjalankan perusahaan dapat diikuti guna mencapai tujuan yang telah disepakti. Masalahnya adalah apa kriterianya kebiasaan yang dapat diikuti itu.
Kebiasaan yang dapat diikuti dalam praktik perusahaan adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1)      Perbuatan yang bersifat keperdataan;
2)      Mengenai kewajiban dan hak yang seharusnya dipenuhi;
3)      Tidak bertentangan dengan undang-undang atau kepatutan;
4)      Diterima oleh pihak-pihak secara sukarela karena dianggap hal yang logis dan patut; dan
5)      Menuju akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak-pihak.

B.       Bentuk-Bentuk Badan Usaha (Perusahaan)

Bentuk-bentuk  badan   usaha/perusahaan   (business   organization)/   yang   dapat dijumpai di  Indonesia sekarang ini demikian beragam jumlahnya. Sebagian besar dari bentuk-bentuk  badan  usaha   tersebut  merupakan  peninggalan  masa  lalu  (pemerintah Belanda), diantaranya ada yang telah diganti  dengan sebutan dalam bahasa Indonesia, tetapi masih ada juga sebagian yang tetap mempergunakan nama aslinya. Nama-nama yang masih     terus       digunakan                        dan              belum          diubah              pemakainnya            misalnya,          Burgelijk Maatschap/Maatschap, Vennootschap onder Firma atau Firma  (Fa), dan Commanditaire Vennootschap (CV). Selain itu, ada pula yang sudah di Indonesiakan seperti  Perseroan Terbatas atau PT, yang sebenarnya berasal dari Naamloze Vennootschap (NV). Disini kata
“Vennootschap” diartikan  menjadi  kata  “perseroan”,  sehingga  dengan  demikian  dapat dijumpai   sebutan  Perseroan  Firma,  Perseroan  Komanditer  dan  Perseroan  Terbatas. Bersamaan dengan itu, ada juga yang menggunakan kata perseroan dalam arti luas, yaitu sebagai sebutan  perusahaan pada umumnya.[1]
Apabila diperhatikan kata “perseroan”, berasal dari kata “sero” yang artinya saham atau andil,  sehingga perusahaan yang mengeluarkan saham atau sero disebut perseroan, sedangkan yang memiliki  sero dinamakan “pesero” atau lebih dikenal dengan sebutan pemegang saham. Kemudian tentu  dipertanyakan, bagaimana halnya dengan perusahaan yang  tidak  mengeluarkan  sero  (saham)?  Ternyata   perusahaan  tersebut  juga  disebut perseroan.[2]

Barangkali, yang paling sesuai untuk pemakaian kata “perseroan” adalah dalam hal penyebutan   Perseroan  Terbatas  (PT),  karena  dalam  kenyataannya  PT  itu  memang mengeluarkan saham atau  sero. Seluruh modal PT terbagi dalam saham, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas.[3] Namun  untuk bentuk usaha seperti Maatschap (demikian juga Firma dan CV) sebaiknya   tetap   diterjemahkan   dengan   menggunakan   kata   “persekutuan”   daripada memakai kata perseroan. Hal ini sesuai dengan arti kata perseroan itu sendiri  dan  pula Maatschap, Firma dan CV tidak menerbitkan saham. Jadi, kata “persekutuan” tetap dipakai

untuk padanan Maatschap, Firma dan CV dan ini sesuai pula dengan terjemahan yang dipakai  dalam  KUHPerdata. Tetapi perlu  diingat  bahwa  CV  juga  mengenal  sekutu pelepas uang, sehingga ada  salah satu jenis CV yang disebut “CV atas saham yang modalnya dibentuk dari kumpulan saham-saham. Barangkali untuk jenis “CV atas saham” tidak ada salahnya untuk menyebutnya sebagai “perseroan”.






Bila kembali pada beberapa definisi perusahaan yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk-bentuk usaha itu bermacam-macam, diantaranya:

1.  Ditinjau dari jumlah pemilik modalnya:

a.  Usaha perseorangan

b.  Usaha dalam bentuk institusi atau badan (persekutuan)

2.  Ditinjau dari segi himpunan, badan usaha dibagi dua:

a.  Himpunan orang (persoonen associatie/nirlaba). Himpunan orang ini memiliki ciri- ciri/kharakter,  antara lain: pengaruh asosiasi terhadap anggotanya sangat besar; anggotanya sedikit/terbatas; dan anggotanya tidak mudah keluar/masuk (tertutup). Contohnya        IKADIN    (Ikatan Advokat                     Indonesia);               IWAPI     (Ikatan          Wanita Pengusaha Indonesia); HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia).

b.  Himpunan modal (capital associatie/laba). Contohnya Firma; CV; NV/PT

3.  Baik secara teoritis maupun ditinjau dari status hukumnya, bentuk usaha/perusahaan memiliki dua bentuk:

a.  Bentuk usaha/perusahaan bukan badan hukum b.   Bentuk usaha/perusahaan  badan hukum
Sepintas lalu kedua badan usaha yang disebut terakhir tidak ada perbedaan. Namun jika dilihat dari perspektif hukum perusahaan, ada perbedaan yang cukup mendasar, yakni masalah tanggung jawab.

Undang-undang tidak menjabarkan definisi badan hukum. Selama ini istilah badan hukum  diadopsi dari istilah belanda   (rechtpersoon), atau istilah inggris (legal persons). Agar uraian dalam  tulisan  ini lebih sistematis, maka definisi badan hukum lebih lanjut akan dijelaskan pada Bab III.

Pada dasarnya, sebagian besar bentuk-bentuk perusahaan yang ada bentuk asalnya adalah Perkumpulan. Perkumpulan yang dimaksudkan adalah perkumpulan dalam arti luas,
dimana  tidak  mempunyai  kepribadian  sendiri  dan  mempunyai  unsur-unsur  sebagai berikut:

a.  Kepentingan bersama;

b.  Kehendak bersama;
c.   Tujuan bersama
d.   Kerja sama

Keempat unsur ini ada pada tiap-tiap perkumpulan seperti Persekutuan Perdata, Firma,  Koperasi  atau  Perseroan  Terbatas.  Namun  sudah  tentu  bahwa  masing-masing mempunyai unsur  tambahan sebagai unsur pembeda (ciri khas) antara satu perkumpulan dengan perkumpulan lain.
KUHPerdata, Pasal 1653 hanya menyebutkan jenis-jenis perkumpulan atau badan hukum:
a.     Perkumpulan yang diadakan oleh kekuasaan umum;

b.    Perkumpulan yang diakui oleh kekuasaan umum;

c.     Perkumpulan yang diperkenankan atau untuk suatu maksud tertentu yang tidak berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan.

Perusahaan yang bukan badan hukum meliputi bentuk-bentuk perusahaan sebagai berikut:

1.  Perusahaan Perseorangan, yang wujudnya berbentuk Perusahaan Dagang (PD) atau

Usaha Dagang (UD)

2.  Persekutuan, yang wujudnya terdiri dari bentuk-bentuk:

a.       Perdata (Maatschap)
b.      Persekutuan Firma (Fa)
c.       Persekutuan Komanditer (CV)

Sedangkan  perusahaan   berbadan   hukum   meliputi   bentuk-bentuk   perusahaan sebagai berikut:

1.  Maskapai Andil Indonesia (IMA)

2.  Perseroan Terbatas (PT)

3.  Koperasi

4.  Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

a.  Perusahaan Perseroan (Persero)

b.  Perusahaan Umum (Perum)

5.  Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Mengingat rumusan badan hukum tidak ditemui dalam undang-undang, maka para ahli hukum mencoba membuat kriteria badan usaha/perusahaan yang dapat dikelompokkan sebagai badan hukum jika memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

a.  Adanya  pemisahan  harta  kekayaan  antara  perusahaan  dan  harta  pribadi

(pemilik);

b.  Mempunyai tujuan tertentu;

c.  Mempunyai kepentingan sendiri;

d.  Adanya oraganisasi yang teratur.

Jika tidak memenuhi unsur-unsur tersebut di atas, suatu badan usaha tidak dapat dikelompokkan sebagai badan hukum. Berikut dicoba dijabarkan badan usaha/perusahaan yang tidak termasuk dalam kelompok badan hukum.

C.      Kedudukan Hukum Perusahaan
Ruang lingkup Hukum Perusahaan ada pada lapangan Hukum Perdata (khususnya Hukum Dagang) dan sebagian ada pada Hukum Administrasi Negara yang tercermin pada peraturan perundang-undangan di luar KUHPerdata dan KUHD. Namun apabila dilihat dari obyek usaha dan tata perniagaannya, Hukum Perusahaan termasuk di dalam lapangan Hukum Perdata khususnya bidang Hukum Harta Kekayaan yang mana di dalamnya terletak Hukum Dagang. Sedang apabila dilihat dari segi kegiatan usahanya yang bergerak di dalam kegiatan ekonomi pada umumnya, maka Hukum Perusahaan ini termasuk di dalam cakupan Hukum Ekonomi.
Dengan demikian, kedudukan Hukum Perusahaan terletak pada Hukum Dagang (termasuk Hukum Perdata) sekaligus juga terletak pada Hukum Administrasi Negara dan Hukum Ekonomi. Dengan kata lain, Hukum Perusahaan terletak dalam Hukum Privat sekaligus pada Hukum Publik dan Hukum Ekonomi. Sehingga dapat dikatakan bahwa perusahaan mempunyai tiga aspek sekaligus, yaitu Ekonomi Perusahaan, Hukum Dagang/Perdata (Privat) dan Hukum Administrasi Negara (publik).